Mojokerto,lensaindo.id – Suasana sakral membalut kawasan Candi Jolotundo, Trawas, Mojokerto, saat ribuan warga berkumpul mengikuti prosesi Ruwat Agung Petirtaan Jolotundo, Sabtu (28/6/2025). Tradisi tahunan yang digelar masyarakat Dusun Biting, Desa Seloliman ini menjadi simbol rasa syukur atas limpahan tirta suci Jolotundo yang diyakini membawa berkah kehidupan.
Prosesi dimulai dengan Kirab Agung Budaya Nusantara, yang mengambil rute dari Lapangan Sri Rahayu menuju kompleks candi. Sepanjang kirab, warga mengenakan busana adat, membawa sesajen untuk leluhur, melepas burung sebagai lambang kebebasan, dan menanam pohon sebagai bentuk pelestarian alam.
Ketua pelaksana kegiatan sekaligus Pemangku Adat Jolotundo, Romo Mukade, menegaskan bahwa tradisi ini dilaksanakan setiap bulan Suro, khususnya menjelang tanggal 10 pasaran Legi dalam kalender Jawa.
“Kami laksanakan sebelum 10 Suro. Ini bagian dari warisan leluhur yang tak hanya melibatkan spiritualitas, tapi juga kesadaran ekologis. Tirta Jolotundo adalah sumber kehidupan bagi masyarakat,” jelas Romo Mukade.
Air suci dari Jolotundo selama ini dimanfaatkan untuk kebutuhan sosial, ekonomi, hingga ritual keagamaan masyarakat sekitar. Karena itu, prosesi ini sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap alam dan sumber daya yang menopang kehidupan.
Menariknya, rangkaian ruwatan dimulai sejak sepekan sebelumnya. Warga bersama tokoh adat menggelar ritual unduh tirta dari empat penjuru lereng Gunung Penanggungantimur (Sumber Tetek, Pasuruan), selatan, barat (Petirtaan Jolotundo), dan utara. Seluruh air suci dari empat penjuru itu disatukan dan didoakan dalam prosesi puncak.
Air hasil ruwatan kemudian dibagikan kepada warga dan pengunjung yang hadir sebagai simbol berkah dan harapan akan keselamatan serta kesejahteraan.
Tradisi ini tak hanya menarik perhatian warga lokal, tetapi juga menyedot partisipasi komunitas budaya dari berbagai daerah, termasuk Jombang, Malang, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya. Selain itu, Forkopimda Kabupaten Mojokerto turut hadir dan mengapresiasi pelestarian budaya luhur ini.
Acara semakin semarak dengan pertunjukan seni tradisional seperti ujung, bantengan, dan wayang kulit semalam suntuk, yang menyatu dalam semangat pelestarian budaya, spiritualitas, dan cinta lingkungan.(erick)